Simchi-Levi mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai berikut (2000:1): “Is set of approaches utilized to efficiently integrate suppliers, manufacturers, warehouse and stores, so that merchandise is produced and distributed at the right quantities, to the right locations and at the right time, in order to minimize system wide cost while satisfying service level requirements.” Sedangkan Hanfield dalam bukunya Supply Chain Redesign (2002:8) mendefinisikan SCM sebagai berikut: “Is the integration and management of supply chain organization and activities through cooperative organization relationship, effective business process, and high levels of information sharing to create high-performing value systems that provide member organizations a sustainable competitive advantage”.
Terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan :1. Tujuan dari SCM adalah untuk melakukan efektifitas dan efisiensi mulai dari suppliers, manufacturers, warehouse dan stores. Tidak adanya koordinasi yang baik antara pihak-pihak yang terkait akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Salah satu dampak yang kerapkali terjadi adalah “Bullwhip effect”. Hal ini terjadi karena kurangnya koordinasi dalam pertukaran informasi antara toko retail, distributor dan perusahaan. Disatu sisi ketika manajer toko retail melihat peningkatan permintaaan dari konsumen sejumlah 100 unit maka peningkatan 100 unit ini akan ditangkap distributor sejumlah 500 unit dan perusahaan akan menangkap perningkatan permintaan tersebut sebesar 2500 unit. Kalau kita memperhatikan, informasi jumlah 100 itu dapat sampai ke pihak perusahaan bagaikan bola salju yang menggelundung dari atas kebawah yang semakin lama semakin besar. Dan hal ini akan menjadi lebih kacau lagi kalau pemenuhan kebutuhan itu ditangkap pada waktu yang sudah berjalan cukup lama.
2. SCM mempunyai dampak terhadap pengendalian biaya.3. SCM mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan perusahaan kepada customer.
Dalam kurun waktu dewasa ini keinginan customer lebih cepat mengalami perubahan, hal ini dapat kita lihat dari ragam produk yang ada dalam pasaran. Hal ini membuat perusahaan harus dapat mengatur secara baik persediaan yang dimiliki perusahaan, karena dengan perubahan jumlah permintaan terhadap produk tertentu akan membuat perubahan terhadap kebijakan perusahaan untuk persediaan, dalam hal ini salah satunya adalah menentukan tingkat pemesanan kembali. Supply Chain Management berbicara mengenai bagaimana mengatur pemasokan barang terhadap perusahaan. Namun SCM bukan hanya berbicara mengenai pemasokan barang secara sederhana. SCM berbicara mengenai cara untuk mengintegrasikan rantai pasokan barang sampai pendistribusian barang ketangan pelanggan akhir. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat kompleks, karena begitu banyak pihak yang terlibat dalam perjalanan dari supplier, perusahaan, distributor sampai ke pengguna akhir . Menurut Ramalhinho (October, 2002) dalam artikelnya : “Supply Chain Mangement: an opportunity for Metaheuristic” mengatakan sehubungan dengan dunia industri: “The increasing need of industry to compete with its product in global market, across cost, quality and service dimension, has driven the need to develop logistic systems more efficient than those traditionally employed”. Jadi dapat disimpukan bahwa sistem persediaan yang baik semakin dibutuhkan dalam persaingan global.
Pemain Utama dalam Supply Chain Management (SCM)
Supply Chain menunjukkan adanya rantai yang panjang yang dimulai dari supplier sampai pelanggan, dimana adanya keterlibatan entitas atau disebut
Pemain Utama dalam Supply Chain Management (SCM)
Supply Chain menunjukkan adanya rantai yang panjang yang dimulai dari supplier sampai pelanggan, dimana adanya keterlibatan entitas atau disebut
pemain dalam konteks ini dalam jaringan supply chain yang sangat kompleks tersebut. Berikut ini merupakan pemain utama yang yang terlibat dalam supply chain:
1. Supplier (chain 1)
Rantai pada supply chain dimulai dari sini, yang merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan mulai. Bahan pertama disini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, suku cadang atau barang dagang.
2. Supplier-Manufacturer (chain 1-2)
Rantai pertama tadi dilanjutkan dengan rantai kedua, yaitu manufacturer yang merupakan tempat mengkonversi ataupun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan kedua mata rantai tersebut sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya, penghematan inventory carrying cost dengan mengembangkan konsep supplier partnering.
3. Supplier-Manufacturer-Distribution (chain 1-2-3)
Dalam tahap ini barang jadi yang dihasilkan disalurkan kepada pelanggan, dimana biasanya menggunakan jasa distributor atau wholesaler yang merupakan pedagang besar dalam jumlah besar.
4. Supplier-Manufacturer-Distribution-Retail Outlets (chain 1-2-3-4)
Dari pedagang besar tadi barang disalurkan ke toko pengecer (retail outlets). Walaupun ada beberapa pabrik yang langsung menjual barang hasil produksinya kepada customer, namun secara relatif jumlahnya tidak banyak dan kebanyakan menggunakan pola seperti di atas.
5. Supplier-Manufacturer-Distribution-Retail Outlets-Customer (chain 1-2-3-4-5). Customer merupakan rantai terakhir yang dilalui dalam supply chaindalam konteks ini sebagai end-user.
Hambatan pada Supply Chain Management (SCM)
SCM merupakan sesuatu yang sangat kompleks sekali, dimana banyak hambatan yang dihadapi dalam implementasinya, sehingga dalam implementasinya memang membutuhkan tahapan mulai tahap perancangan sampai tahap evaluasi dan continuous improvement. Selain itu implementasi SCM membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mulai dari internal dalam hal ini seluruh manajemen puncak dan eksternal, dalam hal ini seluruh partner yang ada. Berikut ini merupakan hambatan-hambatan yang akan dialami dalam implementasi SCM yang semakin menguatkan argument bahwa implementasi SCM memang membutuhkan dukungan berbagai pihak (Chopra & Meindl 2001):
1. Incerasing Variety of Products. Sekarang konsumen seakan dimanjakan oleh produsen, hal ini kita lihat semakin beragamnya jenis produk yang ada di pasaran. Hal ini juga kita lihat strategi perusahan yang selalu berfokus pada customer (customer oriented). Jika dahulu produsen melakukan strategi dengan melakukan pembagian segment pada customer, maka sekarang konsumen lebih dimanjakan lagi dengan pelemparan produk menurut keinginan setiap individu bukan menurut keinginan segment tertentu. Banyaknya jenis produk dan jumlah dari yang tidak menentu dari masing-masing produk membuat produsen semakin kewalahan dalam memuaskan keinginan dari konsumen.
2. Decreasing Product Life Cycles. Menurunnya daur hidup sebuah produk membuat perusahan semakin kerepotan dalam mengatur strategi pasokan barang, karena untuk mengatur pasokan barang tertentu maka perusahaan membutuhkan waktu yang tertentu juga. Daur hidup produk diartikan sebagai umur produk tersebut dipasaran.
3. Increasingly Demand Customer. Supply chain management berusaha mengatur (manage) peningkatan permintaan secara cepat, karena sekarang customer semakin menuntut pemenuhan permintaan yang secara cepat walaupun permintaan itu sangat mendadak dan bukan produk yang standart (customize).
4. Fragmentation of Supply Chain Ownership. Hal ini menggambarkan supply chain itu melibatkan banyak pihak yang mempunyai masing-masing kepentingan, sehingga hal ini mebuat Supply chain mangement semakin rumit dan kompleks.
5. Globalization. Globalisasi membuat supply chain semakin rumit dan kompleks karena pihak-pihak yang terlibat dalam supply chain tersebut mencakup pihak-pihak di berbagai negara yang mungkin mempunyai lokasi diberbagai pelosok dunia.